PPP: Pelabuhan Terakhir Para Kyai
Oleh: Alfi Khair (Kader muda PPP dari Lombok Timur, NTB)
Banyaknya
kyai yang kembali ke PPP menunjukkan bahwa kyai sudah mulai peka
terhadap kondisi bangsa saat ini. Mereka menyatakan kembali ke PPP,
karena mengaggap PPP, satu-satunya partai yang tetap istiqamah
memperjuangkan aspirasi ummat Islam.
Salah
satu gejala yang paling menonjol dalam masa pasca tumbangnya rezim Orde
Baru adalah munculnya banyak parpol. Hal ini tentu saja dimulainya
kebijakan pemerintah B.J Habibie untuk menerapkan kembali sistem
multipartai, sebagaimana pernah terjadi di Indonesia pada dasawarsa
pertama setelah kemerdekaan. Bukan hanya itu saja euforia politik
demokrasi dan kekebasan juga menghasilkan penghapusan kewajiban parpol
untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya azas, seperti ditetapkan
dalam UU Keormasan 1985.
Semua
perkembangan ini mendorong munculnya sangat banyak parpol khususnya
parpol Islam. Dari sekitar 140-an parpol yang berdiri semasa Habibie,
dan kemudian setelah mengalami seleksi dan verifikasi terdapat 48 parpol
yang berhak mengikuti pemilu 1999. Dan dari 48 parpol ini hampir
separuhnya adalah parpol yang secara eksplisit merupakan partai Islam
atau menggunakan dan merupakan simbolisme Islam, atau partai berbasiskan
konstituaen muslim.
Perkembangan
seperti ini tidak bisa lain, kecuali mengisyaratkan semakin terjadinya
fragmentasi yang semakin luas di kalangan elit politik dan ummat Islam
terutama kyai, kyai sebagai elit agama Islam yang juga disebut ulama,
sampai saat ini menjadi bahan perbincangan para pengamat dan bahkan oleh
kyai sendiri, menyangkut layak tidaknya kyai terjun dalam politik
praktis.
Perdebatan menarik, terkait dengan posisi kyai dengan perubahan sosial. Geertz (1960: 220-249) sebagaimana yang dikutip oleh Imam Suprayogo, menyatakan bahwa kyai dan ulama tidak memberikan apa-apa terhadap gerakan politik bahkan lebih jauh mengatakan seharusnya kyai sebagai pengayom ummat Geertz mengatakan culture broker yaitu
menjembatani transformasi nilai-nilai kultural yang berkembang dalam
masyarakat, hendaknya kyai menhindarkan diri dari politik praktis.
Pandangan
yang bertolak belakang dengan pendapat Geertz, seperti yang dikemukakan
oleh Horikhosi (1987:245-246) berpendapat bahwan kyai berperan banyak
dalam politik dan mereka menuduh orang yang menentang kyai terlibat
politik, orang yang tidak mengerti tentang "alim". Horikhosi
mengatakan bahwa elit gama yang disebut kyai sesungguhnya cukup
responsif terhadap perubahan. Ia mengatakan bahwa kyai bukan hanya sebagai cultural brooker saja. Sependapat dengan dengan pandangan Horikhos, Azra (2002: 75-79) mengatakan pada dasarnya tidak ada pemisahan antara agama (din) dengan politik (syiasah). Disini politik dipandang sebagai bagian dari integral dari agama, dan karena itu tidakperlu dijauhi, bahkan perlu diceburi.
Penulis tertarik dengan pendapatnya Horikhosi dan Azra di atas yang mengatakan kyai harus terlibat politik, karena kyai hendaknya
ikut andil dan terlibat dalam berpolitk, berpolitik bagian dari ajaran
Islam, melarang berpolitk berarti mereduksi ajaran-ajaran Islam yang
komprehenasif dan universal (rahmatan lil’alamin). Ada bebrapa alasan keterlibatan kyai
dalam politik seperti pendapat Imam Suprayogo (2007: 1-10), kyai
sebagai elit agama di tingkat apapun, desa, kecamatan, kabupaten,
provinsi hingga tingkat pusat pemerintahan negara, terlibat dalam
kegiatan politik. Sebab kyai sebagai pemimpin memerlukan otoritas, dan
terlibat dalam peran-peran sosial untuk kepentingan masyarakat dan
ummat. Penulis
melihat selama ini kyai sering dijadikan sebagai objek dan komoditas
politik oleh para elit politik yang ingin menacari keuntungan, seperti
calon legislatif, gubernur, bupati dan walikota, ketika mendekati momen
pemilu dan pilkada, mereka mendekati kyai dengan alasan silaturrahmi dengan meminta restu kyai, padahal tujuannya hanya untuk mencari dukungan, setelah terpilih menajadi anggota legislatif maupun eksekutif kyai ditinggalkan bahkan tanpa pesan, terkesan kyai selama ini dipolitisasi, bahkan diibaratkan seperti daun salam.
Oleh
sebab itu saatnyalah kyai harus terlibat langsung dalam politik, dengan
keterlibatan kyai dalam berpolitik sedikit tidak terjadi perubahan
dalam dunia perpolitikan, khususnya dalam dunia ketata negaraan kita. Rasulullah membentuk membentuk negara madinah dengan Siyasah (politik) sehingga terbentuklah piagam Madinah (Mitsaqul Madinah), oleh karena itu kyai harus kembali berpolitik, masak kayak Bang Toyib tak pulang-pulang. Dengan majunyan kyai dalam politik. InsyaAllah cita-cita mewujudkan masyrakat madani yang baldahatun thayyibatun warobbu al-ghafur.
PPP Pelabuhan Terakhir Politik Kyai
Pada
perayaan harlah PPP ke-39 di kantor DPW PPP Jatim, puluhan kyai Jawa
Timur menghadiri harlah PPP dan menyatakan diri kembali ke rumah besar
ummat Islam yaitu PPP, adapun para kyai yang hadir seperti KH. Abdul
Mu’thi Nur Hadi (Surabaya), KH. Mas Subandar (Pasuruan) KH. Zainuddin
Djazuli, KH. Nur Huda Djazuli, KH. Anwar Iskandar (Kediri), KH. Maimun
Adnan (Gresik), KH. Nurudin Busyiri (Probolinggo), KH. Hasan Syaful
Islam (Genggong Probolinggo). KRP. Mujahid Anshori, KH. Yusuf Musa, KH.
Zainuddin Thoha, KH. Syaiful Djazuli, serta KH. Maskur Khasim yang
merupakan anggota DPP PPP. (Jawapos Edisi 6 Januari 2012).
Banyaknya
kyai yang kembali ke PPP menunjukkan bahwa kyai sudah mulai peka
terhadap kondisi bangsa saat ini. Mereka menyatakan kembali ke PPP,
karena mengaggap PPP, satu-satunya partai yang tetap istiqamah
memperjuangkan aspirasi ummat Islam. Bahkan mereka bertekad untuk
berjihad dan berihktiar untuk membesarkan PPP, dan akan menjadikan PPP
satu-satunya partai yang memeperjuangkan Ideologi Islam di Indonesia,
karena PPP lahir dari rahim para ulama. Mudah-mudaan dengan bergabungya
para kyai di Jawa Timur yang nota bene tempat lahirnya NU, akan
diikuti oleh seluruh kyai dan ulama di seluruh tanah air karena PPP
adalah rumah besar ummat Islam dan pelabuhan terahir politk ummat Islam.
Amin Ya Robbal Almain. Wallahu a’lam bi al-showab.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !